09 Juli 2009

Namanya Pak Tua


Biarkan ku perkenalkan kalian pada teman baruku! Namanya Pak Tua, usianya 25 tahun. Untuk makhluk seperti dia, 25 tahun adalah usia lanjut dan kasihan kalau dipaksakan untuk tetap bekerja. Itulah motor Yamaha lawas rakitan tahun 1984 milik Bapak ku. Orang2 di rumah dan para teknisi di bengkel langganan menyebutnya “robot” karena bodinya yang kotak-kotak, warnanya hitam dan suara knalpotnya membuat orang2 mengira ada helikopter yang akan mendarat sebentar lagi!

Nasibku sedikit mirip Sam Witwicky, tapi aku mendapatkannya atas pilihanku sendiri. Kehadiran Suzie dan Yoko (motor yang lebih muda) membuat robot tersisih. Semakin jarang diajak ke pasar membeli bawang, ke mall belanja bulanan, ke salon mencuci rambut atau nonton Transformer di bioskop. Jika bisa, dia pasti akan mengeluh sejadi-jadinya, “Jual saja aku pada kolektor, buang saja ke Putri Cempo, kekuatan sinar Cube tidak akan merubahku menjadi Autobot”. Sesekali dia menangis meneteskan oli ke lantai. Kasihan..

Aku putuskan untuk memungutnya! Tapi ajakan ku tidak disambutnya dengan ceria. Ban belakang menggeleng (oleng) mengisyaratkan penolakan, “Aku tidak pantas untuk mu, pergilah bersama Suzie, bukankah sebelumnya kau bersama dia?” Aku tak gentar, Dokter Kenteng akan melakukan operasi kecil di ruji2 peleknya. Asap tebal keluar dari knalpot, mungkin dia TBC, servis ringan bisa sedikit melegakan nafasnya. Tidak mungkin menyelesaikan semua ini, padahal besok aku akan membawanya. Baiklah, kita akan sembuhkan lampu2nya di Jogja saja. Sekarang kau gagah, Pak Tua! Bantu aku mendapatkan Megan Fox, OK!






Kategori: - Perjalanan - Informasi - Opini -



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar